KE MANAKAH KITA BERHIJRAH?
Tidak ada hijrah yang mudah. Hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah pada 23 September 622 adalah ‘percobaan’ ketiga setelah dua peristiwa hijrah sebelumnya, ke Abisina tahun 615 dan ke Thaif yang tak mendapatkan sambutan yang ramah.
Pun perjalanan hijrah itu sendiri bukan sesuatu yang gampang. Bayangkan saja sebuah perjalanan sepanjang 250 mil, di bawah terik matahari jazirah, melalui jalur yang tak biasa di tengah gurun pasir, dengan perbekalan dan ‘alat transportasi’ seadanya. Nabi Muhammad SAW waktu itu hanya ditemani sahabat karibnya, Abu Bakar Assidiq yang seorang saudagar, bukan pendekar; Sementara keduanya harus terus-menerus menghindar dari ancaman musuh yang selalu memburu dan ingin membunuh mereka berdua.
Apakah segalanya berjalan mulus-mulus saja ketika Sang Nabi telah tiba di Madinah? Kita membaca sejarah bahwa penduduk Madinah, kaum Muhajirin dan Anshar, menyambut kedatangan Nabi dengan penuh sukacita setibanya di sana. Namun sebenarnya itu sambutan selamat datang saja… Setelah itu, Nabi harus menghadapi masa transisi yang sulit juga, perlu kerja dan kesabaran ekstra untuk menjalani semuanya.
Kemenangan di perang Badar mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat Madinah dan memperkuat posisi Nabi sebagai pemimpin lintas-suku di sana. Itu modal politik yang penting bagi Nabi sebagai pemimpin baru. Tapi kekalahan di perang Uhud mau tak mau menyurutkan kepercayaan itu. Namun, Sang Nabi tak berhenti di sana. Dengan penuh strategi, kesabaran, dan kerja keras, Nabi kembali memperkuat posisinya sebagai pemimpin yang menjanjikan setelah berhasil mengadang serbuan Mekah ke Madinah dalam perang Khandak. Secara jenius, berkat saran Salman Alfarisi, Nabi menggali parit di sekeliling kota untuk menghentikan serangan Musuh dengan cara yang tak biasa namun begitu jenius.
Delapan tehun setelah peristiwa hijrah. Catat ini baik-baik, delapan tahun setelah peristiwa hijrah, Nabi bisa menaklukkan Mekah dalam peristiwa Futuh Makkah. Dalam delapan tahun itu tentu saja ada proses yang panjang dengan berbagai dinamikanya. Di sanalah Nabi mulai melihat ‘kemenangan yang nyata’, sebagaimana digambarkan dalam surat An-Nashr, ketika masyarakat Mekah berduyun-duyun masuk Islam (yadkhuluuna fii diinillahi afwaja).
Lalu, apa yang bisa kita refleksikan dari peristiwa hijrah Nabi itu?
Pertama, bahwa hijrah memang sesuatu yang tak mudah serta membutuhkan pengorbanan yang besar. Jika kita masih merasa ‘baik-baik saja’, bisa jadi kita belum ‘berhijrah’. Hijrah selalu mensyaratkan perubahan signifikan yang mungkin membuat kita ‘sakit’, menderita, dicibir, dihujat, atau harus menghadapi ‘masalah’ yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Tapi, dalam situasi semacam itulah kita ditempa sebagai manusia—yang jika kita bisa melewatinya maka kita akan sampai di Madinah kita masing-masing. Disambut dengan penuh suka cita oleh kebahagiaan kita sendiri yang tak bisa dilukiskan dengan apapun saja.
Kedua, meski kita sudah melakukan hijrah, meski kita sudah sampai di Madinah kita masing-masing, boleh jadi segalanya tak seperti yang kita bayangkan sebelumnya. Kita berhijrah dengan harapan menginginkan kehidupan yang lebih baik, lebih tenang, lebih sejahtera, tapi bisa jadi semuanya tak seperti yang kita kira. Sampai di Madinah saja tidak cukup. Di sana kita harus melewati masa ‘transisi’, menegosiasikan kebiasaan-kebiasaan lama kita dengan berbagai situasi yang serba baru di depan mata. Menghadapi semua tantangan dengan penuh semangat dan keyakinan. Tentu saja dibutuhkan kesabaran, kerja keras, dan strategi cerdas untuk menjalani fase transisi ini.
Ketiga, buah dari kesabaran, kerja keras, dan visi strategis itulah yang akan mengantarkan kita kepada ‘kemenangan yang nyata’. Namun, jangan lupa, hijrah bukan satu-satunya syarat untuk mencapai ‘futuh mekah’… Di sana ada proses. Proses yang tidak mudah dan tidak sebentar. Nabi saja membutuhkan waktu delapan tahun. Hanya ketika kita sudah melewati semua proses itulah maka pertolongan dan kemenangan yang dikirimkan Allah akan datang (idza jaa-a nashrullahi wal-fath).
Lalu, ke mana kita harus berhijrah? Berhijrahlan dari situasi yang membuatmu tidak bahagia ke situasi yang akan membahagiakanmu. Berhijrahlah dari individu yang malas menjadi individu yang bertekad mewujudkan mimpi-mimpinya. Berhijrahlah dari seorang suami atau istri yang biasa-biasa saja, menjadi suami atau istri paling istimewa bagi pasangannya. Berhijrahlah sebagai seorang anak, orangtua, teman, sahabat, pegawai, pengusaha, atau siapa saja dari kondisi yang sekarang ke arah yang lebih baik lagi—dan lebih baik lagi. Berhijrahlah dari seorang manusia biasa-biasa saja menjadi seorang manusia terpuji (Muhammad) yang memiliki nilai-nilai kemuhammadan dalam dirinya.
Selamat tahun baru Islam, 1 Muharam 1437 H. Selamat berhijrah. Selamat menemukan Madinah-mu masing-masing, selamat merancang Futuh Makkah-mu sendiri.
FAHD PAHDEPIE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar